Monday 21 October 2013

Que-Sera-Sera

Hari itu saya sedang mengandung Zippori sekitar 2 bulanan, masih shock dan masih baru belajar menerima bahwa saya sedang hamil, tapi perasaan yang paling dominan adalah rasa takut, ya rasa takut cemas luar biasa, karena saya takut 'ada yang salah dengan anak saya',
karena saya merasa Zippo ada karena ketidak sengajaan, morning sickness 3 bulan pertama yang membuat saya menolak makan dan minum sama sekali sehingga menurut dokter, janin saya tampak mengerut karena kekurangan cairan untuk berenang, sehingga saya merasa gagal merawat sang janin, dan saya takut anak saya tidak 'sempurna' dan ketidak siapan memiliki anak secara mental,materiil, dan spiritual. Membuat saya mengalami paranoid.

Saat Julius mengajak saya mengunjungi mertua, saya duduk menonton tv sendirian di ruang tamu. Siaran kali itu menampilkan cuplikan sebuah iklan asuransi jiwa yang menampilkan sekumpulan anak sekolah yang memiliki keterbatasan fisik,
mereka berdiri di panggung entah untuk acara apa sambil bernyanyi que sera sera bersama untuk para ibu mereka. Saat anak-anak mereka bernyanyi, para ibu menyaksikan dengan seksama , sebagian tersenyum, sebagian menitikan air mata.

Arti dari kata que sera sera, menurut lagunya adalah: what ever will be , will be , kalau diterjemahkan: yang akan terjadi, terjadilah.

Dan disana terbukakanlah mata hati dan pikiran saya, betapa egoisnya saya mengharapkan 'kesempurnaan' menurut rancangan saya yang jelas-jelas tidak sempurna, lagian apakan kesempurnaan itu sendiri? Maka bagaimanapun rupa Zippo saat dia lahir, apapun masalah keuangan, pola pengasuhan, jadi apa dia nanti, maka dia adalah yang terbaik untuk saya, begitu pun sebaliknya saya adalah yang terbaik untuk Zippo. Apapun yang terjadi di depan sana entah ringan atau berat, yang pasti kami akan diberi kemampuan untuk menghadapinya bersama. Que sera sera.

Nah,sekitar 1 minggu yang lalu, anak saya Zippo, tiba-tiba seperti melafalkan 1 lagu yang saya tidak mengenalnya, ternyata dia melagukan 'que sera sera', sepertinya laci memori tentang saya menyanyikan lagu itu terbuka, padahal saya sudah sangat jarang menyanyikannya, karena dari lahir, kalau Zippo gelisah mau tidur, lalu dinyanyikan lagu bukannya tambah tenang tapi malah tambah rewel (padahal suara saya dan Jules, sebagai jebolan paduan suara, ga jelek jelek amat deh :p). Dan akhirnya saya pun kapok dan menghapus impian romantis menyanyikan anak sampai ia tertidur.

Nah, Berikut cuplikan lagu que sera sera yang dinyanyikan Zippo bersama saya.
Dipersembahkan untuk para ibu muda yang baru insyaf seperti saya dan sebagai pengingat betapa diberkahinya saya .


"Sudah besar mau jadi apa, dik?"

Masa kecil hingga remaja saya tidak begitu mengesankan, bahkan cukup traumatis. Semenjak kecil saya dititipkan pada kakek dan nenek atau bersama pembantu selama ayah-ibu bekerja, sehingga saya tidak terlalu dekat dengan orang tua terutama ibu saya.
Ibu saya bukan sosok yang mampu mengekpresikan rasa cintanya dengan mudah. Sehingga saya jarang diajak mengobrol apalagi dipeluk dan mungkin karena lelah bekerja diapun mudah marah, kesalahan kecil yang saya buat kadang memicu ledakan amarahnya yang tak dapat dia kontrol, tak jarang sabetan sapu lidi mendarat di kaki.
Mungkin dia pikir itu cara terbaik untuk mendisiplinkan anaknya yang sedang senang mengeksplorasi apapun dan mungkin itupun yang dia alami saat dia kecil.
Tumbuh besar saya selalu diceritakan ibu, betapa dia hanya satu dari segelintir karyawan yang berkelamin wanita dengan mayoritas lelaki di kantor, mampu berkeliling dunia dan menginap di hotel besar dengan di biayai perusahannya bahkan ia telah membiayai orang tuanya yang bangkrut semenjak sangat muda.

Dan sayapun tumbuh menjadi anak yang mandiri, dingin, ambisius, dan keras hati. Saat kecil saya tidak suka bermain dengan anak lain termasuk dengan adik kalau dipaksakan pasti ujungnya berkelahi, saya jarang menangis, pantang menyerah, tapi sensitif dan nekat. Saya selalu gelisah jika berhadapan dengan lingkungan dan komunitas yang baru, saya takut tertolak dan bersosialisasi sungguh tidak nyaman, tapi sisi nekat saya mendorong untuk masuk saja karena takut dinilai orang kuper (kurang pergaulan), yah saya selalu ingin terlihat baik.

Suatu kali saya dan Julius -sewaktu masih pacaran- berbincang di mobil sambil menunggu lampu merah . Sekilas kami melihat seorang ayah membonceng anaknya yang masih kecil naik motor, lalu kami membayang-bayangkan apa yang akan kami lakukan bila kami telah memiliki anak.
Sungguh menarik, betapa Julius menantikan saat dia bercengkrama dengan sang anak, berkeliling kota sambil menceritakan sejarah tentang bangunan-bangunan kunonya.
Sedangkan saya langsung membayangkan bahwa anak saya akan menjadi anak yang sukses, anak yang tahu dan mampu mengejar mimpinya, mungkin dia berdiri di sebuah mimbar dan menginspirasi banyak orang atau sibuk berkeliling dunia.

Disana ada suatu jeda,jeda yang membuat saya tersadar, bahwa saya melihat keengganan saya untuk menjalin koneksi dengan sang anak. Saya tidak tahu harus mengobrol apa! Saya melewati masa kecilnya dan yang saya lihat hanya target dan ambisi saya untuk menjadikan dia seorang Bos, inspirator, atau orang yang berpengaruh. Seketika saya sadar dan sedih betapa sepertinya saya hanya menjadi sama dengan sosok yang selama ini saya hindari, tidak saya kenal,membuat saya gelisah, bahkan kadang saya benci.

Dua tahun 1 bulan lalu, Zippori hadir dan saya pun bertekad untuk belajar membangun hubungan dengan sang anak , berusaha mengenal dan menerimanya apa adanya, belajar untuk menyayanginya, meminta maaf jika salah, memuji jika dia berprilaku baik, mengapresiasi karyanya, memberi waktu untuk medengar celotehnya dan bermain dengannya dengan sungguh-sungguh, tak perduli betapa konyol prilaku saya asal membuat dia tersenyum, membiarkan rumah berantakan asalkan Zippo dapat menyalurkan ide-idenya yang kadang tak saya mengerti.
Bayangan dia menjadi pempimpin dunia, berdiri di mimbar atau sedang mempresentasikan idenya di negara antah berantah saya singkirkan dulu, saya berkali menyadarkan diri bahwa nantipun sang anak ini akan menjadi seorang pemimpin, minimalnya dia akan menjadi pemimpin dirinya sendiri.
Entah dia sukses atau tidak, bisa keliling dunia atau tidak, memenangkan sesuatu atau tidak, kaya atau tidak, dikenal atau tidak. Yang penting dia menjadi orang yang baik ,tidak pernah merugikan orang lain, berempati pada kesusahan orang lain dan dapat menikmati hidup nya dengan bahagia dari apa yang dia punya.

Untuk apa menjadi pemimpin dunia tapi berprilaku curang, tidak punya hati nurani, korupsi, mementingkan dirinya sendiri, atau lebih parahnya adalah menjadi boneka untuk menyenangkan orang lain .

 Leadership is action, not position. -Donald.H.Mcgannon